“Wahai Syaikh, bolehkah saya meminta
wirid atau amalan yang membuat saya menjadi kaya? Saya ini miskin
Syaikh, tidak punya apa-apa. Padahal saya sudah shalat. Sementara tetangga saya tidak shalat. Dia malah kaya raya,” katanya setelah mengucap salam pada ulama tersebut.
“Benarkah engkau miskin dan tidak punya apa-apa?” sang ulama balas bertanya.
“Benar Syaikh”
“Engkau punya dua buah mata. Bagaimana jika sebuah matamu ditukar ke rumah sakit sebelah masjid ini seharga 100 juta?”
Syaikh, tidak punya apa-apa. Padahal saya sudah shalat. Sementara tetangga saya tidak shalat. Dia malah kaya raya,” katanya setelah mengucap salam pada ulama tersebut.
“Benarkah engkau miskin dan tidak punya apa-apa?” sang ulama balas bertanya.
“Benar Syaikh”
“Engkau punya dua buah mata. Bagaimana jika sebuah matamu ditukar ke rumah sakit sebelah masjid ini seharga 100 juta?”
Lelaki itu terkejut. Ia berpikir, kok
jalan keluarnya seperti ini. Meski ingin kaya, ia tidak mau kehilangan
anggota tubuhnya, sekecil apa pun. “Maaf Syaikh, mata saya jauh lebih
mahal dari itu.”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh, mata ini tidak dijual”
“Bagaimana jika 1 milyar?”
“Tidak Syaikh”
“Bukankah hanya satu. Kamu masih punya satu mata lagi untuk melihat”
“Tidak Syaikh, saya tidak bisa membayangkan betapa menderitanya hidup saya jika saya tidak memiliki mata meski hanya sebelah.”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh, mata ini tidak dijual”
“Bagaimana jika 1 milyar?”
“Tidak Syaikh”
“Bukankah hanya satu. Kamu masih punya satu mata lagi untuk melihat”
“Tidak Syaikh, saya tidak bisa membayangkan betapa menderitanya hidup saya jika saya tidak memiliki mata meski hanya sebelah.”
“Kalau begitu, bagaimana jika tanganmu
saja. Satu buah tangan saja. Tangan kiri yang diamputasi, untuk
disambungkan ke pasien rumah sakit tersebut. Dihargai 100 juta. Mau?”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Tidak Syaikh. Bahkan 2 milyar pun saya tidak mau.”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Tidak Syaikh. Bahkan 2 milyar pun saya tidak mau.”
“Kalau begitu, ini tawaran terakhir.
Tidak akan mengganggu hidupmu. Manusia itu punya dua ginjal. Sebenarnya,
dengan satu ginjal pun seseorang bisa hidup. Bagaimana jika ginjalmu
saja yang dijual 100 juta?”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Maaf Syaikh, saya tetap tidak mau. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika saya kehilangan sebelah ginjal saya”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Maaf Syaikh, saya tetap tidak mau. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika saya kehilangan sebelah ginjal saya”
“Jika demikian halnya. Bukankah engkau
ini sangat kaya, saudaraku. Jika sebelah matamu harganya lebih dari 1
milyar, jika satu tanganmu harganya lebih dari 1 milyar, jika sebelah
ginjalmu harganya lebih dari 1 milyar, jika jantungmu, paru-parumu,
kakimu, hidungmu, lidahmu, telingamu dan semuanya dinilai dengan uang,
betapa kaya dirimu. Kekayaanmu lebih dari ratusan milyar. Dan Allah
memberikan semua itu gratis. Andaikan Allah menyuruh kita membayar
oksigennya, menyuruh kita menyewa penglihatan dan pendengaran, kita
takkan sanggup membayar itu, berapapun uang kita. Allah Maha Rahman;
Maha Pemurah dan pengasih, semua hambaNya dikasih, tak pilih kasih. Tapi
kita sebagai hamba, jarang bersyukur, banyak melupakan
nikmat-nikmatNya. Di surat Ar Rahman Allah mengingatkan kita dengan
kalimat ‘fa bi ayyi ‘aalaa-I Rabbikumaa tukaddzibaan’ maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan. Ini diulang 31 kali
dalam Surat Ar Rahman. Yang kalau kita tadabburi, Allah Maha Rahman,
tetapi kita berulang kali mendustakan nikmatNya…”
Sampai di sini, tak terasa mata
laki-laki itu telah basah. Ia baru menyadari betapa kaya dirinya. Ia
baru saja menolak transaksi senilai 3 milyar, dari ratusan milyar bahkan
trilyunan nilai dirinya. Dan itu adalah nikmat dari Allah yang selama
ini ia lupakan.
“Coba kita lihat di rumah sakit sebelah.
Orang yang sakit jantung, ia mau membayar berapapun untuk
kesembuhannya. Orang yang stroke, ia tak bisa menikmati berapapun
kekayaannya. Orang yang kena diabetes akut, ia tak bisa melakukan
apa-apa secantik apapun istrinya. Kita ini jauh lebih beruntung daripada
mereka. Apalagi mereka yang sakit sekaligus tidak beriman. Sengsara
dunia akhirat. Kita punya iman, itu adalah kunci keberuntungan. Kita
dikarunuai kesehatan, ini adalah modal besar untuk mendapatkan kekayaan”
Pundak laki-laki itu berguncang,
tangisnya semakin menjadi. “Terima kasih Syaikh, kini saya menyadari
nikmat-nikmat Allah, dan saya merasa betapa kayanya diri saya”
“Alhamdulillah… selanjutnya, dengan
landasan syukur itu, tingkatkanlah ibadah dan ikhtiarmu. Perbanyaklah
shalat tahajud, mintalah pada Allah di sepertiga malam terakhir. Adukan
semua masalahmu. Jika surga saja diberikan oleh Allah, tentu sangat
mudah bagiNya memberikan apapun di dunia ini. Rutinkan shalat dhuha. Dan
bersedekahlah. Tentu, rezeki tidak datang seperti hujan uang dari
langit. Berusahalah, bisa dimulai dari yang kecil asal engkau lakukan
dengan sungguh-sungguh, yang penting halal. Jangan malu jika mulai dari
berdagang kecil-kecilan. Hasilnya, manfaatkan sebagian untuk makan,
sebagian untuk tambahan modal dan sebagian untuk sedekah.”
Jika tadi lelaki tersebut masuk masjid
dengan langkah gontai, kini ia keluar dari masjid dengan langkah tegap.
Hatinya dipenuhi dengan syukur, harapan baru, dan semangat baru. Sebab
ia sadar, ia adalah orang kaya. Kaya dengan karunia dariNya. [Muchlisin
BK/kisahikmah.com]
Share This Article
No comments:
Post a Comment